Add This...^^d!!

RSS

Kamis, Oktober 23, 2014

Chirpstory twitter @willgetmarried
Fb : Will Get Married
December 1, 2012

Oleh @nestrinadezda


Cinta. Trlalu byk definisi yg bs terurai.

Tp lebih dr itu semua, sejatinya ia bukan lah kata benda, krn ia adalah kata kerja.

Sebagai kata kerja, tentu ada aktivitas yg terlibat dalam mencinta.

Bagi seorang ibu, mencinta terwujud dari sentuhannya mengusap lembut kepala buah hatinya.

Bagi seorang ibu, mencinta terwujud dari untaian do'a untuk kebaikan anaknya dalam tiap tengadahan tangannya seusai shalat.

Bagi seorang ibu, mencinta terwujud dari tangisan rindunya menanti kepulangan anaknya yang tinggal berjauhan.

Bagi seorang ibu, mencinta terwujud dari teguran khawatirnya saat sang anak tersentuh khilaf.

Bagi seorang ayah, mencinta terwujud dari semangatnya mencari nafkah untuk kehalalan kehidupan keluarganya.

Bagi seorang ayah, mencinta terwujud dari ketegasannya dalam mendidik.

Bagi seorg ayah, mncinta trwujud dr ingatannya akn anaknya yg mampu mnjadi motivasi trampuhnya utk brtahan di tiap kesulitan

Bagi seorang ayah, mencinta terwujud dari kesyahduan hatinya saat melepas anak perempuannya dalam ikatan akad

Bagi sepasang insan, mencinta biasa dikaitkan dengan besarnya perhatian akan pasangannya.

Dan ketika wktunya blm tepat, mencinta tak lagi semulia namanya, ia hnya akan dijadikan alasan dan pembenaran utk bermaksiat.

Shingga bagi kbanyakan org, mncinta ditunjukkan dgn aktivitas pacaran. Makan brg, nonton brg, semua dibalut atas nama cinta.

Padahal cinta tak serendah itu! Kemuliaannya terletak ketika mencinta dilakukan karena, dan hanya karena, Allah. Ikhlas. Lillahi ta'ala.

Bila tak mmbwa kbaikan, tak prlu mncul dlm aktvitas apapun. Ckup dsimpan di ht, dlm blutan istighfar.

Bila ikatan akad blm ada, cukuplah terwujud dlm do'a utk kebaikan yg tercinta. Jaga rasa itu agar tak menguak ke permukaan.

Bila ikatan akad belum ada, cukuplah ia dalam usaha perbaikan dan persiapan diri.

Tak perlu ragu atau khawatir. Karena nama pasanganmu telah ada. Dan janji Allah itu pasti. Believe it!

Bhkn janji Allah jauh lebih pasti dr matahari yg akn terbit esok hr.

Mngkhwatirkan jdohmu srupa dgn mragukan janjiNya. Hati2!

Bila ikatan akad belum ada, jagalah kesucian cintamu, bukan untuk ia yang kau cinta, bukan untuk siapapun.

Tapi untuk pasangan masa depanmu, yang baru akan kamu ketahui siapa setelah akad terikrar.

Bersihkan hati dari penempatan cinta yang belum saatnya, karena hatimu adalah penentu kualitas dirimu di mata Allah.

Jangan biarkan ada cinta yang lain selain karenaNya. Karena sungguh, Allah sangat pencemburu, jangan duakan Allah!

Untuk yg sudah menikah pun, terus dan terus lihat kondisi hati.

Jgn smpai caramu mencinta tidak berlandaskan cinta karenaNya.Caranya?

Minta pada Allah! Minta dan teeruus minta, krn beda dgn makhluk, Allah tak pernah jenuh mendengar pinta hambaNya.

Bda dgn mkhluk, Allah bhkn mrindu pintamu.
Krn nya, msukkan inginmu utk mnjga ht hny utk mncinta krnNya sbagai slh 1 pintamu.

Jadi, yuk minta pd Allah! Di tiap sujud kita, di tiap zikir kita, di tiap hujan yg mngguyur bumi, di tiiiiaaaapppp waktu !!

"Ya Allah, aku mohon pada-Mu cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu, amalan yang mengantarkanku, menggapai cinta-Mu. Ya Allah, jadikan cinta-Mu lebih aku cintai melebihi cintaku pada diriku sendiri, keluargaku, dan dunia seisinya.."

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, Oktober 21, 2014

Catatan 01 Cinta Hingga ke Syurga


# Catatan 01 Cinta Hingga ke Syurga # 

@nestrinadezda

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

 Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [QS At Tahrim 6]

 Ketika akad telah terikrarkan...maka status kita (duhai para muslimah) adalah seorang istri, yang tentu saja sejak saat itu kita merupakan tanggung jawab suami kita. Buruknya amalan kita, lalainya ibadah kita, hingga khilafnya diri kita dalam menjaga aurat kita bisa menyeret suami kita ke dalam neraka tanpa kita dan suami kita sadari. Mengerikan bukan?

 Maka seandainya kita berani berlisan (atau minimal merasakan di dalam hati) bahwa kita mencintai suami kita...maka buktikan! Buktikan bahwa tak cukup jikalau kita hanya bersamanya hingga akhir usia kita. Buktikan dalam ikhtiar terbaik kita untuk masuk ke syurga-Nya dengan disambut oleh jemari suami kita!

 Tidakkah romantis adalah ketika kita dan suami kita kembali dipertemukan Allah dalam satu majelis syurga tetap sebagai sepasang suami-istri?
Maka duhai muslimah, jagalah aurat kita, suami bukanlah mahram kita tapi ia jauh lebih berhak melihat aurat kita dibandingkan mahram kita yang lain. Panjangkan khimar kita, kenakan gamis nan longgar, kenakan kaus kaki dan dalaman celana panjang, tutupi dagu bagian belakang (karena ia pun merupakan aurat bagi seorang muslimah), serta kenakan manset tangan dan periksa selalu agar posisinya tak turun di bawah pergelangan tangan kita.

 Mari kita mudahkan jalan suami kita untuk masuk ke syurga-Nya

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, September 26, 2014

Mau lanjut spesialis apa?

Ketika ditanya, "dokter apa mbak?"

Maka jawabanku tentu, "dokter umum"

Sudah bisa ditebak bahwa pertanyaan berikutnya adalah, "mau lanjut ambil spesialis apa nanti?"

Padahal menjadi dokter tak selalu harus menjadi dokter spesialis, ada banyak pilihan yang bisa diambil.

Bagiku, kalau ambil spesialisasi...in syaa Allah spesialis kandungan adalah pilihannya, megingat masih sedikitnya dokter kandungan muslimah.

Kalau ambil S2...in syaa Allah aku akan ambil farmakologi supaya bisa jadi dosen yang paham obat, nampak seru.

Kalaupun tidak...cukuplah jadi dokter umum yang asik dengan klinik pribadi dan kepentingan dakwah umat.

Yang manapun boleh, karena in syaa Allah keinginan terbesarku bahkan bukan ketiganya melainkan menjadi ibu dari malaikat-malaikat mungil yang akan lahir dari rahimku kelak. Membina mereka dengan penuh kecintaan kepada Rabbnya, kepada RasulNya, dan kepada ayat-ayat cintaNya.

Menjadi generasi-generasi dengan akhlak bersinar yang mampu menjaga kemurnian al qur'an dengan menjadi al hafidz dan hafidzah sekaligus menjaga kemurnian sabda Rasulullaah dengan menghafalkan beribu al hadits, serta menjadi generasi yang mampu memberikan bobot pada bumi dengan kalimat laa ilaahailaallaah...

Cukup itu bagi diri ini in syaa Allah, karena impian terbesar seorang Nestri bukanlah menjadi dokter melainkan menjadi seorang ibu *senyum lebar

@nestrinadezda

[+/-] Selengkapnya...

Senin, September 01, 2014

Motor, Helm, dan Saya

Sudah beberapa hari ini saya mulai menggunakan motor, belajar mengendarainya pun baru mulai dalam pekan yang sama. Keputusan menggunakan kendaraan beroda dua ini sebagai kendarahan pilihan mulai terlintas di benak mengingat jadwal jaga di rumah sakit yang terkadang mengharuskan pulang malam ataupun berangkat malam. Khawatir, karena malam hari di Purwakarta sudah sepi dengan angkutan umum, sedangkan bermalam di rumah sakit pun tidak memungkinkan.

Wallahi, gemetar sekali ketika pertama kali mulai latihan menggunakan motor. Sebenarnya dulu saya pernah iseng menggunakan motor ayah untuk sekedar meyakinkan kalau saya juga bisa mengendari motor, meskipun sekedar motor matic. Tapi saat itu saya menggunakan motor ayah untuk sekedar berputar-putar keliling kompleks yang sepi, maka tentu saja saat itu saya mampu mengendarainya dengan lancar jaya.

Sedangkan kali ini ketika saya kembali berlatih, saya berlatih dengan motor saya sendiri dan untuk saya gunakan sendiri, bukan untuk sekedar bermain keliling kompleks yang sepi melainkan untuk saya gunakan menempuh perjalanan dari kosan ke rumah sakit maupun sebaliknya. Maka takut sekali rasanya diri ini ketika kembali menaikinya untuk berlatih, entah apa pastinya yang saya takuti, rasa geli pun menyusup dalam benak membayangkan betapa santainya saya dulu saat menggunakan motor ayah untuk berkeliling kompleks, sedangkan di kompleks yang sama ketika saya berlatih dengan menggunakan motor saya sendiri...gemetar dan tegang yang luar bisa menghinggapi diri. Geli, karena kok saya jadi terkesan tega sama motor ayah tapi penuh kehati-hatian ketika yang digunakan adalah motor sendiri yah? hehe.

Tapi alhamdulillaah, 3 hari menggunakan motor, saya sudah lancar menggunakannya, dan juga sudah tidak setegang sebelumnya. Namun ada satu hal yang senantiasa menjadi pikiran saya : helm.

Kenapa helm?

Pernah kemarin ketika saya sudah ingin menyalakan motor untuk berangkat kembali ke rumah sakit untuk mengambil barang yang tertinggal, saya teringat bahwa saya belum mengenakan helm, segera saja saya hendak kembali ke kamar kosan untuk mengambil helm yang saya letakkan rapi di atas tempat tidur kamar. Seorang teteh kosan yang bertanya mengapa saya kembali lagi berkomentar, “Gak papa kok, di sini mah polisinya baik-baik nes”, komentar itu membuat saya yang saat itu belum paham maksud sang teteh hanya berkomentar singkat, “oh iya yaa teh? Alhamdulillaah...”, saya pikir sang teteh kenal dengan polisi di sini dan pernah berbincang sendiri dengan pak polisi sehingga mengatakan kalau polisi di sini baik. Sehingga saya pun tetap kembali untuk mengambil helm yang tertinggal di kamar.

Saat itu, di perjalanan saya kembali memikirkan maksud sang teteh tadi, dan akhirnya saya pun paham bahwa yang dimaksud adalah “baik” yang tidak lantas mengejar ataupun menilang pengendara motor yang tidak menggunakan helm. Padahal, dimana baiknya seorang polisi yang mendiamkan peluang kecelakaan dan regangan nyawa terjadi di depan matanya?

Dan kemudian, setibanya saya di rumah sakit, selepas saya mengambil barang yang tertinggal dan hendak kembali ke kosan. Datang sebuah mobil bak terbuka dengan tubuh yang terbujur kaku dan berlumuran darah di bak mobilnya, hanya satu yang terlihat bergerak dari tubuh itu, dadanya yang naik turun, bukan naik-turun karena nafas biasa, karena justru jelas terlihat bahwa naik-turun dadanya yang tidak biasa itu menandakan betapa suitnya sang korban bernafas, dirinya tak sadarkan diri, darahnya bergelimang dan menetes banyak sekali di sepanjang jalan depan Instalasi Gawat Darurat hingga ke ruang tindakan di dalam.

Bekerja di IGD rumah sakit, tak jarang saya lihat pasien yang tiba sebagai pasien kecelakaan adalah pengendara motor, atau korban yang ditabrak oleh pengendara motor. DI luar dari tak sedikitnya pula pengendara motor yang terlibat ternyata sedang dalam kondisi mabuk (dengan usia yang masih sangat belia : 16 hingga 18 tahun! Naudzubillaah...) yang jadi pusat pikiran saya adalah helm yang tak ada di lokasi kejadian. Banyak sekali korban kecelakaan tak mengenakan helmnya. Apakah karena alasan polisi Indonesia yang “baik” tadi?

Siang tadi saya kembali keluar menggunakan motor, dan mengamati pengendra-pengendara motor yang lain. Ternyata selain mereka yang keluar mengendari motor tanpa helm, banyak sekali pengendara motor berhelm yang tak mengaitkan kunci helmnya dan hanya sekedar menempelkan helmnya di kepala untuk kemudian dengan santai menjalankan motornya.

Lantas apa fungsi helmnya? Untuk menghindari tangkapan polisi?? Padahal, bukankah tujuannya adalah untuk melindungi tulang kepala dan otak yang ada di dalamnya dari benturan keras yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu dalam sebuah kecelakan yang kita tidak pernah tau kapan ia menyapa sang pengendara motor? Sedangkan sekedar “menempelkan” helm di kepala tentu saja akan dengan mudah menyebabkan helm tersebut terlepas ketika terjadi benturan keras, helm akan terlempar, dan peluang kepala akan terbentur dengan sangat keras adalah besar.

Lantas apa fungsi helm nya?

Ayah saya memesankan kepada saya untuk mengendarai dengan kecepatan 30-40 km /jam saja ketika melepaskan motor saya untuk saya gunakan di kota ini. Bahkan pagi tadi via telepon entah kenapa meskipun ayah mengulangi nasehat lain yang sama persis dengan nasehatnya di hari sebelumnya mengenai kehati-hatian untuk mengendarai sepeda motor saya ini, angka yang disebut mengalami perubahan, yang tadinya disebut 30-40 km/ jam tadi mendadak berubah jadi 20-30 km/jam saja. Haha entah karena lupa dengan angka yang disebut dalam nasehatnya sebelumnya, entah karena dirinya dihinggapi rasa khawatir akan diri saya sehingga ayah memang dengan sengaja meminta saya untuk mengurangi kecepatan normal saya untuk mengendarai motor.

Seorang dokter di rumah sakit mengatakan bahwa kecepatan saya mengendarai motor adalah kecepatan sebuah sepeda, haha, lucu sekali komentar ini, saya pun dibuatnya geli sekali mendengar komentar polos sang dokter. Tapi mau bagaimana lagi, seandainya saya bisa memilih, tak ingin saya meregang nyawa dan mengakhiri kontrak hidup saya di dunia dengan lumuran darah akibat kecelakaan.

Karena apabila kecelakaanlah yang menjadi penutup usia saya, ada dua hal yang menjadi pikiran saya.

Pertama, apabila saya meninggal ketika kecelakaan tanpa helm di kepala...tentu tak ada guna rasa takut pada pak polisi, karena seharusnya saya lebih takut pada Allah. Karena saya tidak tahu harus menjawab apa pada Allah apa alasan saya membunuh diri saya sendiri dengan berlalai-lalai menjaga amanah kehidupan yang Dia amanahkan pada saya karena enggan menggunakan helm.

Kedua, ketika terjadi kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan pendarahan pada diri saya, maka besar kemungkinan setiba di rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama...hijab yang saya kenakan akan dibuka untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut untuk memeriksa apakah ada luka fatal di kepala saya atau tidak.

Belum lagi dengan kemungkinan robek-robek di pakaian akibat kecelakaan kendaraan bermotor yang saya alami, tentu saja hal ini meningkatkan kemungkinan aurat saya akan terlihat oleh petugas kesehatan yang menangani saya maupun masyarakat lain yang kebetulan menolong saya, ataupun yang kebetulan melihat karena berada di lokasi kejadian.

Padahal lihatlah kisah seorang wanita Palestina yang ketika tidurnya tetap mengenakan hijab lengkap. Jawabannya ketika ditanyakan mengenai alasannya tersebut sungguh menggetarkan hati,

“Agar apabila roket-roket dan bom Israel menghancurkan rumah saya malam ini, saya siap menghadap Tuhan saya dengan keadaan aurat saya tetap terjaga."

Masyaa Allah...Allahu Akbar!!

Tentu saja saya tidak mempunyai kuasa untuk menentukan akhir hidup saya, tapi saya memiliki kesempatan untuk setidaknya berusaha semampu diri untuk menjaga diri saya sendiri agar tidak mengizinkan diri ini menutup usianya dengan lumuran darah yang bisa membuat saya menghadap Allah dalam keadaan tidak menjalankan perintahNYa : menutup aurat dengan baik.

Semoga Allah mengizinkan saya dan hamba-hambaNya yang lain untuk mengakhiri hidup dalam keadaan yang diridhoiNya.


@nestrinadezda

[+/-] Selengkapnya...