Add This...^^d!!

RSS

Jumat, November 16, 2012

Manajemen masalah part 2 of 3: Bersihkan hati, senandungkan asmaNya!

Ketika masalah tiba, tak jarang kita mengeluarkannya dalam bentuk keluhan. Bahkan tak jarang kita membela diri dan merasa tidak mengeluh, dengan alasan hanya sekedar bercerita atau berbagi kisah. Padahal Rasulullah mendidik kita untuk tidak mengeluh, sebagaimana sabdanya, “Ada tiga pusaka kebajikan, merahasiakan musibah, merahasiakan sedekah, dan merahasiakan keluhan”. Kenapa? Karena merahasiakan keluhan akan mendatangkan kebaikan, kebaikan bagi kita, kebaikan bagi orang sekitar, insya Allah. Jadi jangan mengeluhkan masalah kita, apapun masalahnya, bagaimanapun bentuk keluhannya.

Tidak boleh dikeluhkan tapi harus diselesaikan, tapi bagaimanaaa?

Padahal masalah yang menimpa sangat berat dirasa, hingga pikiran pun terasa keruh hingga tak jarang menutupi jalan keluar, seolah memang jalan keluar dari masalah yang dihadapi memang tak ada, dan takkan pernah ada. Lantas bagaimana?

Ingat kalau masalah yang Allah berikan pasti dalam batas kesanggupan kita untuk menyelesaikannya, kalau terasa susah mah wajar, karena perjuangan menuju syurga memang tidak mungkin semudah terjerumus ke neraka toh? Tapi  jangan lantas dengan “susahnya” itu kita justru melarikan diri dari masalah, karena jalan keluarnya ada, Allah yang menjamin bahwa tidak akan seorang hamba dibebani masalah di luar kesanggupannya.  Sedangkan janji Allah itu pasti, jauh lebih pasti dari matahari yang akan terbit esok hari.

Karenanya, ketika pikiran terkeruhkan oleh masalah, bersihkan keruhnya! Jernihkan hati. Tenangkan jiwa. Caranya? Dalam surat cinta Allah di surat Ar Rad ayat 28 Allah telah mengajarkan bagaimana cara kita untuk menenangkan segala kemelut yang terasa: Dengan mengingat Allah!

“...ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”. Jadi, cerdaslah kita yang ketika masalah datang kita bersyukur dengan mengingat bahwa masalah adalah bukti dari cintaNya, maka ucapkan : Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Jadi, cerdaslah kita yang ketika masalah datang kita senantiasa mengingat dengan menyenandungkan asmaNya untuk membersihkan jiwa, menjauhi diri dari kecenderungan untuk mengeluh.


Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Malik, Ya Quddus, Ya salaam, Ya Mukmin, Ya Muhaimin, Ya Aziz, Ya Jabbar, Ya Mutakabbir, Ya Khaaliq, Ya Baari, Yaa Musawwir, Ya Ghaffar, Ya Qahhar, Ya Wahhab, Ya Razzaq, Ya Fattah, Yaa ‘Alim, Ya Qaabidh, Yaa Baasith, Yaa Khaafidh, Yaa Rafi’, teruuuuus hingga tersebut kesembilan puluh sembilan nama indahNya. Ulangi lagi, lagi, dan lagi. Ulangi tiap hati terasa gundah, karena dengan mengingat Allah dengan keMahaKuasaanNya maka hati yang bergemuruh sekalipun akan tenang dengan sebenar-benarnya ketenangan, insya Allah.

Dan ketika hati telah terlepas dari kemelutnya, pikiran pun akan terlepas dari keruhnya. Sehingga pintu jalan keluar dari masalah pun akan berbaik hati memperlihatkan rupanya dari jalan yang tak pernah kita sangka sebelumnya.

Try and prove it by yourself (:!
Karena teori selamanya hanya teori sampai ada yang mempraktekkannya, maka...yuk^^!





[+/-] Selengkapnya...

Rabu, November 07, 2012

Manajemen masalah. Part 1 of 3: Berat, tapi manis luar biasa!

Beberapa bulan ke belakang saya mengalami hal-hal luar biasa. Sekumpulan masalah datang silih berganti, menyapa diri yang seringkali terlalaikan, menegur hati yang seringkali mengikrarkan kebaikan yang hampa.

Dan yang paling berkesan adalah betapa masalah-masalah yang muncul datang seolah ingin membuktikan teori-teori yang seringkali saya jelaskan pada orang lain, pada tulisan, teman, ataupun adik-adik angkatan. Kakak saya pernah mengomentari, “Adek tuh udah tau teorinya kalau dicubit itu sakit, nah sekarang adek lagi ngerasain sedihnya, lagi ngerasain sakitnya”. Subhanallah, benar sekali.

Teorinya, Allah tidak akan membebani seorang hamba di luar kesanggupannya, begitu firman Allah dalam surat cintaNya, alQur’anul Kariim. Prakteknya, banyak orang berguguran ketika berhadapan dengan cobaan, melarikan diri untuk melupakan. Bukan karena tidak sanggup menghadapi ujian yang datang, tapi MERASA tidak sanggup. Kita kah?

Teorinya, salah satu alasan kedatangan musibah adalah karena dosa, dan tidaklah akan hilang kesalahannya jikalau tak disertai dengan taubat, begitu ucap sayyidina Ali ibn Abu Thalib. Prakteknya, seringkali kita menyalahkan orang lain atas kemalangan yang menimpa diri: nilai jelek karena dosennya pelit dan banyak maunya, handphone hilang karena pencuri menyebalkan yang mengintai diri, absen dicoret karena dosen hadir terlampau pagi, tugas tertinggal karena ada jarkom kuliah mendadak untuk datang lebih cepat, gagal ujian karena pertanyaan lontaran dosen terlampau aneh dan detail, janji tak tertepati karena macet menghadang tanpa ampun, materi tak bisa dimengerti karena penjelasan dosen berputar-putar tanpa arti, kepribadian rapuh karena didikan lingkungan yang tak benar, dan lain sebagainya.

Jarang, atau mungkin tak pernah, memikirkan kalau sumber masalahnya adalah diri sendiri, tak terlintas dalam benak bahwa kesalahan terbesar adalah khilaf diri terhadap beberapa hal di masa lampau. Nampaknya diri terlalu asik menyalahkan orang lain sehingga tanpa sadar merasa dirilah yang paling benar dan paling layak mendapat segala jenis kebaikan. Sombong. Loh? Kenapa sombong? Bukankah akar kesombongan ada dua? Pertama, ketika diri merasa lebih baik dari orang lain. Kedua, ketika diri merendahkan orang lain, baik sadar maupun tidak. Padahal sesungguhnya, Allah membenci orang-orang yang sombong dan membanggakan diri! Naudzubillah. Tsumma Naudzubillah.

Teorinya, Apabila Allah menghendaki kebajikan pada seorang hamba, maka akan diperlihatkanNya kekurangan hamba tersebut, begitu sabda Rasulullah Muhammad ibn Abdullah yang diriwayatkan oleh Abu Manshur Ad-Dailami. Prakteknya, ketika diri merasa kurang, akanlah kita membandingkan diri dengan mereka yang nampak “lebih” segala-galanya, merasa diri tak berguna. Jauh dari syukur. Padahal bukankah seharusnya tak ada rasa lain selain syukur yang menggema di hati? Bukankah ketika kita mampu melihat kesalahan diri maka terdapat kehendak Allah akan kebaikan atas diri kita? Subhanallah walhamdulillah!

Namun mengapa dengan semua teori yang ada semua masih terasa berat? Yeee....syurga itu indahnya kebangetan guys! Semena-mena banget mau masuk syurga tapi usaha melawan beratnya ujian aja gak mau kan?



Di kala seburuk-buruk ujian adalah bukti cintaNya, maka nikmat Tuhan yang mana yang perlu kudustakan??

Sungguh Allah, skenarioNya begitu indah, sentuhanNya untuk mengajarkan hambaNya begitu dashyat. Masya Allah. Masya Allah.

Segala puji bagi Allah, bahagia rasanya ditempa untuk menerapkan teori yang diucap diri. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Semoga disayangNya.

Dan, manisnya kebahagiaan pun akan terasa dalam seringnya helaan nafas karena ujianNya. Berat. Tapi manis luar biasa (:!

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, Oktober 21, 2012

fight, flight, frozen

Ada tiga jenis kemungkinan seseorang ketika sedang berhadapan dengan masalah: fight, flight, frozen (hadapi, melarikan diri, terperangkap). Rata-rata dari kita pernah mengalami semuanya, mari kita bahas satu persatu.

Pertama, flight, atau melarikan diri. Salahkah? Bukankah tak semua orang kuat dan sanggup menghadapi masalah yang ada? Rasulullâh Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam pernah mengajarkan:
“Ada tiga perkara dimana tidak seorang pun yang dapat terlepas darinya, yaitu prasangka, rasa sial, dan dengki. Dan aku akan memberikan jalan keluar bagimu dari semua itu, yaitu apabila timbul pada dirimu prasangka, janganlah dinyatakan, dan bila timbul di hatimu rasa kecewa, jangan cepat dienyahkan, dan bila timbul di hatimu dengki, janganlah diperturutkan.”

Kecewa adalah emosi yang muncul ketika kita dihadapkan pada masalah yang tidak sesuai dengan bayangan dan harapan kita. Maka jangan cepat dienyahkan, jangan melarikan diri. Karena Allah menginginkan kita untuk mengikis rasa kecewa yang ada dengan perlahan, layaknya gunungan pasir yang terhembus oleh semilir angin. Dan juga karena dengannya kita akan semakin terkuatkan, semakin bersyukur atas skenario Allah yang ada.

Kedua, frozen atau terperangkap. Pernah mendengar kesurupan? Atau kepribadian ganda? Itu adalah contoh nyata dari beberapa kasus yang bisa terjadi ketika seseorang terperangkap dengan masalah-masalah dan ketakutan yang ada. Ia terdiam, dan melarikan diri (flight) ke dalam dirinya sendiri, bertukar tempat dengan sifat-sifat lain yang selama ini terpendam di pelosok ingatan.

Maka muncul lah kepribadian lain (yang sebenarnya dibentuk oleh ingatan dirinya sendiri), atau muncul dalam bentuk kejang seperti kesurupan (Karena reaksi seperti itulah yang diingatnya. Sehingga tak jarang terjadi kesurupan massal, karena ketika 1 orang kesurupan maka orang yang melihat akan merasakan ketakutan yang amat sangat sehingga ingatan akan reaksi kesurupan temannya itulah yang muncul ketika bertukar dengan kesadarannya).

Atau contoh tersering dari frozen adalah hendaya (henti daya), sering disebut juga dengan disabilitas, atau sederhananya, kehilangan minat. Hilang minatnya untuk bicara, hilang minatnya untuk berinteraksi, hilang minatnya untuk makan, hilang minatnya untuk beraktivitas. Sehingga tak jarang ia hanya berdiam diri di kamar, tak mau dan tak bisa melakukan apapun.

Pernah, di perjalanan kehidupan koas saya, saya membantu mengabsenkan teman yang terlambat hadir. Segala puji bagi Allah yang dengannya menegur saya ketika tindakan saya itu ketahuan sehingga saya dan teman saya itu pun dipanggil menghadap untuk mempertanggungjawabkan tindakan kami. Kemungkinan terburuk saat itu adalah tidak diluluskan dari bagian itu. Saya siap dengan sesiap-siapnya kesiapan, insya Allah, tapi ternyata alhamdulillah kami hanya dinasehati dan diberikan tugas sebagai gantinya. 

Beberapa waktu berselang, teman saya tadi mengajak berbincang tentang kejadian waktu itu selepas ada orang yang menegurnya karena mempersulit saya saat itu. "Aku kan udah minta maaf sama kamu, Nes. Dan kamu juga bilang kalau kamu gak papa, kamu malah bilang makasih sama aku. Aku mikirnya kalau kamu kan gak pernah bermasalah sama absen, kamu juga deket sama Allah, gak mungkin lah kamu kena masalah. Yaudah aku jadinya mikirin diri aku sendiri."

Saya memang berterimakasih sekali dengan adanya kasus itu, karena dengannya saya dapat kembali membenahi diri menjadi pribadi yang lebih baik, lillahi ta'ala, bertindak karena-dan hanya karena-Allah. Karena dengannya saya semakin dipekakan untuk tidak melulu memudahkan orang lain seandainya bukan dalam kebaikan, bukankah nasehat Rasulullah adalah agar kita saling tolong-menolong dalam kebaikan?

Kejadian itu sungguh menampar saya, saya malu. Malu pada diri sendiri, malu pada teman-teman yang sering saya nasehati, dan terlebih, malu pada Allah. Tapi saat itu saya fight, ketika di ruang kuliah yang dipenuhi oleh koas ditanyakan siapa yang berbuat curang dengan mengabseni yang tidak hadir, meski sempat terlintas untuk tidak mengaku, saya pun akhirnya maju dan mengatakan, "punten dok, saya dok."


Tapi bukan berarti saya tidak punya masalah, terkadang saya pun terperangkap dalam bentuk frozen dan menyiakan waktu yang ada. Perasaan gundah, hati tak tenang, semua nampak keruh, jalan keluar pun seolah tak ada dan takkan pernah ada. Maka saat itulah langkah pertama yang biasa saya lakukan adalah menyenandungkan asma Allah, karena sungguh, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenang. Dan setelah itu Allah dengan sifat Maha Kasihnya mengingatkan saya yang terlalaikan untuk kembali menggenggam manisnya iman dan menyerahkan sesuatu hanya pada Dia yang kuasaNya meliputi langit dan bumi. Maka pada saat itulah jawaban dari permasalahan yang ada akan muncul dari jalan yang tidak disangka-sangka. Maka pada saat itulah manisnya nikmat dari suatu masalah yang menghadang akan terasa.


Karena melarikan diri (flight) dari masalah ataupun terdiam tak berdaya (frozenketika berjumpa dengan masalah hanya akan mengulangi atau bahkan memperburuk kondisi jiwa ketika masalah yang serupa kembali berulang. Karena masalah yang datang hadir dengan menyembunyikan mutiara hikmah dibalik keruhnya problematika yang mendera, maka adalah cerdas kalau kita fight untuk menemukan mutiara yang tersembunyi itu. Let's fight!
















[+/-] Selengkapnya...

Minggu, Oktober 14, 2012

Jadi, masalahnya...

Bedaaa sekali rasanya ketika kita membandingkan karakteristik manusia di zaman Rasulullah dengan yang ada di zaman kini, ya kita-kita ini lah contohnya. Ingatlah Umar ibn al-Khaththab, al-Faruq, yang ketika cahaya islam telah menyinari qalbunya maka tak sedikitpun terbesit keinginan dirinya untuk menyembunyikan kebenaran yang telah sampai padanya, diumumkannya lah keislaman dirinya kepada seluruh kaum Quraisy, “Aku tidak akan menyembunyikan kebenaran setelah mengetahuinya. Aku akan terus memisahkan kebenaran dan kebohongan, sama seperti Tuhan memisahkan siang dan malam.”, maka bergetarlah seluruh Makkah. Masya Allah.

Sedangkan kita? Ringan sekali mengucapkan atau melakukan kebohongan-kebohongan ataupun penipuan “kecil”. Terasa kecil, padahal dengannya diri semakin lalai menggampangkannya, sehingga seandainya kita jeli, sudahlah kebohongan itu menumpuk membentuk gunung ketidakjujuran. Naudzubillah.

Bagi yang kuliah, keterlambatan diri ketika menghadiri kuliah biasa dijawab dengan “Maaf pak/bu, dari toilet” kalau ditanya dosen dengan “Darimana? Kenapa baru datang?”. Atau, masih bagi yang kuliah, biasa sudah rasanya perihal mengabseni atau diabseni, ada yang hanya karena terlambat datang, ada juga yang memang tidak datang sama sekali.

Kembali kepada Umar radiallahu ‘anhu, ia pernah menasehati, “Berkata jujurlah, walaupun ia akan membunuhmu.”, Itulah lah Umar, ia akan berkeras dalam ketaatannya terhadap Allah dan RasulNya. Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam pun menasehati kita untuk bertahan dalam kejujuran, “Jujurlah, karena sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan kepada syurga” (HR Bukhari).  

Tapi, bagaimana dengan berbohong untuk kebaikan? Yakinlah, tidak ada kebaikan yang bisa ditebus dengan keburukan, tidak ada. Yang ada, ketika kita berbohong apapun alasannya, katakanlah misalnya untuk membela diri yang sedang dianiaya, dan seandainya kita tidak berbohong maka penganiayaan akan kita akan terus dilakukan, maka segeralah memohon ampunan Allah setelah kebohongan itu terucap, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat.

Ingatkah dengan Amar ibn Yasir? Ibunya Sumayyah menjadi hamba Allah pertama yang meninggal dalam keadaan syahid setelah dibunuh oleh Abu Al Hakam karena tidak mau mengingkari keislamannya dan mengatakan bahwa Muhammad, manusia terbaik sepanjang masa, adalah seorang pembohong. Ayahnya pun tak lama meninggal karena penyiksaan yang dideranya, dan Amar? Ia tidak meninggal, ia menyerah pada kebohongan saat siksaan demi siksaan ditujukan padanya, ia berbohong dan menghinakan Rasulullah seperti yang dipinta kaum kafir Quraisy. Segala puji bagi Allah, Amar masih dikaruniai usia untuk memohon ampun atas kebohongannya, yang insya Allah kebohongan yang ia ucapkan tak pernah sedikitpun ia benarkan dalam benaknya. Maka kemuliaan syurga pun dijanjikan Allah bagi Amar sekeluarga.

Pernah seorang teman membela diri dengan mengatakan bahwa tentu tidak akan pernah bisa disamakan antara para sahabat atau bahkan Rasulullah sendiri dengan keadaan kita saat ini. Padahal kenapa tidak bisa? Rasulullah sendiri yang mengatakan bahwa Umat terbaiknya adalah mereka yang mencintai Allah dan RasulNya dengan sebenar-benarnya kecintaan padahal mereka tidak pernah menyaksikan dengan mata-kepalanya sendiri wajah dan watak Rasulullah. Itulah kita, insya Allah, seandainya kita mau.

Karena benar, beda sekali karakter kebanyakan dari kita jikalau disandingkan dengan sahabat ataupun Rasul sendiri, padahal yang membedakan hanyalah keimanan dan ketakwaan kita, sedangkan iman dan takwa seseorang adalah buah dari kemauannya. Akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an, sedangkan Al-Qur’an diturunkan untuk umat sepanjang masa, bukan hanya bagi umat yang hidup di zaman Rasulullah! Jadi apa yang mustahil? Masalahnya, kita mau atau tidak?

Meneladani seseorang dengan Al-Qur’an sebagai akhlaknya akan menjadi mustahil ketika membuka Al-Qur’an saja kita malas. Meneladani seseorang dengan Al-Qur’an sebagai akhlaknya akan menjadi mustahil ketika mempelajari sejarah hidupnya saja kita enggan. Meneladani seseorang dengan Al-Qur’an sebagai akhlaknya akan menjadi mustahil ketika “mustahil” itu sendiri adalah kalimat favorit yang terucap bahkan sebelum kita melakukan apapun.


Jadi masalahnya, kita mau atau tidak?

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, Oktober 12, 2012

Sehat jiwa tanpa gangguan

Apa kecemasan terbesar kita? Sampaikah ia mengganggu aktivitas atau mengganggu gerak yang ada? Kalau iya, hati-hati! Bisa jadi kita mengalami gangguan kejiwaan yang dikenal dengan ansietas atau gangguan kecemasan,  sebuah diagnosis bagi mereka yang memiliki anggapan terhadap suatu kondisi atau objek di luar dirinya yang dianggap sebagai sebuah ancaman sehingga muncul dalam bentuk ketakutan-ketakutan. Ketakutan-ketakutan inilah yang kelak akan menghalangi diri dalam mengambil langkah untuk move on.


Kenyataannya, cemas merupakan bagian dari emosi yang bisa terjadi pada orang tanpa gangguan kejiwaan, bedanya ia akan disebut sebagai "gangguan" ketika muncul dalam keadaan berlebih yang tidak dapat ditangani oleh dirinya. Sedangkan kesamaan diantara mereka dengan tingkat kecemasan normal dan mereka dengan gangguan kecemasan adalah memiliki masalah. Faktor apa yang menentukan sehingga masalah yang sama dapat dapat ditangani dengan baik olah seseorang sedangkan pada orang yang lain justru menimbulkan gangguan kecemasan? Keimanan? Jawabannya bisa iya, bisa tidak.

Secara keseluruhan, gangguan kejiwaan apapun itu bentuknya memiliki tiga besar pokok penyebab munculnya gangguan yaitu organobiologis, psikoedukatif, dan sosiokultural. Iman, menurut saya secara pribadi, berkaitan dengan poin kedua dan ketiga yaitu bagaimana lingkungan maupun kebudayaan di sekitar seseorang membekalinya dalam menanamkan paradigma berpikir seperti apa yang pada kemudian hari dapat menjadi dasar bagi dirinya dalam memecahkan masalah kehidupan yang menghadang, sehingga semakin lemah pembekalan keimanan seseorang, semakin rendah daya tahannya terhadap tekanan, hingga bahkan masalah yang sangat remeh sekalipun dapat membuat dirinya seolah sedang ditimpa oleh badai cobaan.

Sedangkan poin pertama (organobiologis) adalah suatu keadaan dimana gangguan kejiwaan muncul sebagai reaksi dari kerusakan pada organ tubuhnya yang disebabkan karena penyakit, misalnya pada beberapa pasien jenis epilepsi (kejang) tertentu yang dapat menimbulkan kerusakan pada beberapa lokasi otak. Kerusakan-kerusakan pada kasus seperti ini dapat menimbulkan halusinasi atau persepsi palsu terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Ketika kerusakan terjadi di pusat pendengaran, dapat saja muncul halusinasi dengar dimana seolah ia dapat mendengar suara-suara yang berbicara padanya, dapat berupa suara yang sedang memarahi atau mengejeknya, ataupun suara ramah yang sedang mengajaknya berbincang.  Kerusakan di pusat-pusat lain di otak juga dapat menimbulkan jenis halusinasi lain seperti halusinasi lihat, cium, bahkan raba.

Sejatinya akan mudah bagi kita mencegah munculnya gangguan kejiwaan yang disebabkan oleh poin kedua dan ketiga tadi, karena bahkan sekalipun gangguan kejiwaan sudah mulai muncul, keimanan yang kuat dan benar dapat membantu mengembalikan ke kondisi semula dan bebas dari ketergantungan terhadap obat-obatan psikiatri, insya Allah. Ya, keimanan yang kuat dan BENAR. Karena kuat saja tidak berarti seandainya ia meyakini sesuatu yang salah bukan? Justru keyakinannya yang salah itu lah yang dapat mencetuskan munculnya gangguan dalam dirinya.

Katakanlah pasien A, ia keluar dari tempatnya bekerja karena teman-teman kerjanya sering mengajaknya bermain kartu, ia yakin seyakin-yakinnya bahwa ajakkan temannya itu salah, buang-buang waktu katanya. Tapi seberhentinya ia dari pekerjaannya, ia justru hanya berdiam di kamar sepanjang hari, mendengarkan radio yang memperdengarkan ceramah-ceramah keagamaan dan mengajarkan berbagai hal yang dilarang, dan sejak saat itulah ia yang menelan bulat-bulat materi dari radio yang didengarnya membuatnya meyakini ajaran-ajaran agamanya dengan sangat keras hati. Semua anggota keluarganya dimarahinya karena menurutnya tidak becus dalam menerapkan ajaran agama. Ibunya ditendang karena menurutnya tidak berguna karena tidak bisa mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang sukses. Hingga sampai tahap kecurigaan bahwa semua orang berniat jahat padanya yang datang membawa kebaikan ajaran agama.

Bayangkan betapa bahayanya informasi yang hanya tersampaikan sepotong-sepotong! Apalagi informasi mengenai ajaran agama, karena sesungguhnya Islam adalah agama yang sempurna, berbeda dengan muslim (orang yang berislam), ia tidak akan mencapai kesempurnaan dan kemuliaan islam seandainya tidak menerapkan islam secara kaffah (menyeluruh). Kuncinya, teruslah belajar, belajar, dan belajar! Tapi jangan berkeras hati memegang suatu pendapat karena bisa jadi persepsi kita yang salah, bukankah islam mengajarkan kita untuk bermusyawarah dalam memecahkan suatu masalah? Pun pendapat kita yang benar, tidak lantas menjadikan diri kita lebih mulia dan menjadikan orang dengan pendapat berbeda menjadi terhinakan bukan?

Karenanya jangan pernah berhenti meminta pada Allah agar hati kita dibersihkan, sehingga dapat mempelajari ilmuNya dengan berpegangan pada ketentuan-ketentuan yang sudah tercantumkan dalam al-Qur'an dan As sunnah, bukan pada kesombongan diri yang merasa sebagai orang yang paling benar. 
Ada baiknya kita meniru do'a Rasulullah Salallahu 'alaihi wa salam, "Ya Allah bersihkanlah hatiku dan sucikanlah jiwaku, sesungguhnya Engkau yang Maha membersihkan hati". Ulangi terus dalam setiap sujud kita, insya Allah dengannya akan lebih mudah bagi kita menerima kebenaran yang datang dari Allah, bukankah akan lebih mudah menulis pada lembaran kertas yang bersih dari coretan?


Sertakan Allah dalam tiap hembusan nafas kita, bahkan dalam problematika teremeh sekalipun yang kita alami dalam hidup. Seperti ucapan Hasan Al-Bashari, "Allah merahmati hamba yang berhenti saat terlintas keinginannya. Jika dilakukan untuk Allah, ia lanjutkan. Jika tidak, ia tunda."


















[+/-] Selengkapnya...

Kamis, Maret 29, 2012

Sungguh, ia tidak mengenal orang, waktu, dan tempat!

Sabtu 24 Maret 2012 pukul 7 pagi adalah jam dimana akhirnya aku mengakhiri jadwal jaga di Rumah Sakit Hasan Sadikin yang diawali sejak 12 jam sebelumnya yaitu Jum’at pukul 7 malam. Seharian tidak tidur adalah hal biasa bagi seorang koasisten sepertiku, terutama saat itu di IGD Bedah tempatku berjaga semalaman sedang ramai-ramainya pasien “berkunjung”.
Alhasil paginya mataku perih karena belum sempat dipejamkan sama sekali, namun hanya selang 20 menit dari berakhirnya waktu jaga di rumah sakit, aku pun melanjutkan perjalanan bersama salah satu teman satu kontrakan untuk ikut kelas Yoga di salah satu Gym di Braga Citiwalk, hasil dari voucher gratis yang dihadiahkan oleh teman lain yang juga satu kontrakan

Di akhir gerakan yoga yang penuh ketenangan, aku sempat tertidur sesaat (berharap tidak ada yang menyadari kalau aku tertidur sejenak saat itu), lelah! Bahkan aku pun kembali tertidur saat aku dan teman mampir ke suatu tempat makan seselesainya kami berolahraga, saat itu sudah sekitar pukul 11 lewat, kaget tingkat tinggi sewaktu aku dibangunkan untuk perjalanan pulang kembali ke kontrakan.
Tapi pulangkah aku setelahnya? Memang, tapi bukan untuk beristirahat, hanya untuk sejenak meletakkan peralatan-peralatan kedokteran yang kubawa selepas jaga rumah sakit kemarinnya, dan juga perlengkapan-perlengkapan lain selepas berolahraga. Sesampainya di kontrakan, terlihat bu Aah yang sedang menyetrikakan pakaian seorang teman lain yang berlangganan mencuci dan setrika baju pada bu Aah, Rabu dan Sabtu memang hari rutin bagi bu Aah untuk datang dan mengerjakan pekerjaan rutinnya. Sejuk sekali rasanya melihat beliau yang giat bekerja, malu rasanya mengatakan bahwa diri ini lelah saat beliau menyapaku yang baru saja datang. Apalah keletihanku dibadingkan dengan perjuangan beliau mencari uang? Pagi hari mencuci hingga berbaskom-baskom, kemudian mengejar waktu untuk menjemur agar bisa kering siang itu juga, dan siangnya di waktu dzhuhur seperti saat aku pulang saat itu, beliau kembali datang dengan setumpuk pakaian untuk menyetrikakan dan meletakkannya rapi di lemari temanku yang berlangganan padanya

Berbarengan dengan bu Aah yang menata pakaian yang telah disetrika ke lemari baju temanku, aku pun menata barang-barang yang akan kubawa ke tempat berlangsungnya pernikahan massal yang akan diselenggarakan oleh teman-teman Kampus Peduli, “Mau pergi lagi neng??”, tanya bu Aah seolah takjub. “Iyaaa buu, mau ke akad nikahan”
Ya, dini hari sebelumnya aku teringat tentang rencana nikah massal yang katanya akan membantu menikahkan adik-adik jalanan yang sudah kukenal beberapa bulan ke belakang, dan segera kukirim pesan singkat kepada beberapa teman yang kuharap saat itu bisa memberikan jawaban tentang kapan hari diselenggarakan ritual suci itu, dan jawaban yang kudapatkan adalah siang itu juga pukul satu. Dan itu berarti setengah jam lagi dari setibanya aku di kontrakan untuk meletakkan barang-barang pos-Jaga

Seberangkatnya aku ke tempat yang diberitahu oleh teman yang menjawab sms, sulit rasanya untuk tak tertidur di angkutan umum yang kunaiki, terkaget saat terbangun tepat di tempat seharusnya aku berhenti, aku pun segera turun dari angkutan yang kunaiki untuk berganti angkutan umum lain, dan bekerja keras menahan mata agar tetap terbuka dan tidak tertidur lagi.
Sesampainya di tempat tujuan, tak kulihat ada siapapun yang kukenal atau adanya tanda-tanda diadakannya sebuah acara. Selepas kuajukan jurus andalanku: bertanya, seorang bapak baik hati membantuku mencarikan orang lain yang sekiranya tau tempat tujuan pastiku. Alhamdulillah, aku pun diantarkan hingga dekat tempat tujuan, dan dengan tanpa bayaran. Subhanallah, padahal sebelumnya dikatakan untuk membayar seadanya, rasanya isi kantungku lebih dari seadanya saat itu (walaupun tetap terhitung pas-pasan, hehe), tapi takjub tingkat tinggi rasanya diri ini ketika beliau mengatakan kalau beliau tidak apa tidak dibayar karena mengantarku, jazakallah aa’ baik hati! Meskipun takkan luput amal baikmu dicatat, izinkan aku untuk tetap mendo’akan keikhlasan hatimu dalam berbuat baik

Berikutnya, kembali ditunjukkan oleh aa’ baik hati lain jalan menuju tempat berlangsungnya acara, akupun bertemu dengan Rofi, teman Kampus Peduli yang tampaknya mengingatku, maafkan karena aku tak ingat (insya Allah paska hari itu kuingat terus jasa baiknya^^), berkat petunjuk Rofi dan seorang adik lain yang kutemui di perjalanan, aku pun tiba di tempat acara, pukul 2 siang, telat sejam dari waktu yang dikatakan untuk berlangsungnya acara, namun syukur Alhamdulillah ternyata akad belum dilangsungkan, aku masih bisa untuk turut serta mendo’akan pasangan berbahagia yang akan diikat dalam sebuah mitsaqan galidzha, mendo’akan kebarakahan pernikahan mereka, segala puji bagi dan hanya bagiMu ya Rabb..(‘:

Perih mata ini karena belum sempat beristirahat rasanya terlupakan seutuhnya di tempat itu, berbincang dengan teman-teman lama yang akhirnya sempat bertemu lagi, menggendong bayi mungil dari pasangan pengantin yang berbahagia, berbincang dengan teh eli yang sempat menginap di kontrakanku paska melahirkan bayinya, hingga berbincang dengan seorang bapak yang menyapaku ketika aku memutuskan untuk melangkah pulang, saat itu sudah mendekati pukul 5 sore, sebenarnya diri ini sudah sangat ingin beranjak pulang, mengejar agar bisa pulang ke kontrakan sebelum maghrib tiba.
Namun berbincang dengan bapak itu menghadiahkan do’a tulus darinya kepadaku, terutama ketika beliau akhirnya tahu bahwa aku adalah seorang dokter muda yang sedang berprofesi di RSHS, amin ya Rabb...semoga malaikat mengaminkan do’a yang sama dan jauh lebih indah untuk bapak itu.

Pukul 5. Sudah benar-benar harus pulang kurasa, akupun pamit sekali lagi ke teman-teman yang sebenarnya sudah kusalami dari sebelum bertemu bapak tadi, dengan tergesa-gesa akupun berusaha untuk tidak menghentikan jalanku agar bisa sampai tepat waktu di kontrakan, pamit sepintas dengan bapak tadi dengan menangkupkan kedua tangan, salam, dan dengan sepasang kaki yang tetap berjalan tergesa. Namun kedua kaki ini kembali terhenti ketika hanya selang sekitar satu meter dari bapak tadi ada seorang ibu yang mengejarku untuk turut serta bersalaman mengantarkan kepulanganku.
Sungguh tak kusangka ketika selesai menjawab salam dan ucapan “hati-hati ya neng” dari ibu tadi, badan yang telah kubalikkan untuk kembali bergegas pulang membalik kembali ke arah sang ibu yang ternyata ucapan salamnya belum terhenti, “Ibu gak bisa ngasih apa-apa buat eneng, Ibu cuma bisa ngedo’ain aja supaya eneng sukses dan enggak ngelupain orang-orang kecil macam ibu”.

Allah. Orang kecil macam mana yang ikhlas mendo’akan orang yang baru saja ditemuinya? Aku pun berlari kecil ke arah ibu tadi, “Ibu, boleh aku meluk ibu??” Aku pun lekas memeluknya. Ibu tadi kembali mengulangi kata-kata yang sama, “Ibu, do’a ibu jauh lebih dari cukup, lebiiihh dari cukup, nuhun ibu, do’akan saya supaya bisa jadi dokter yang baik ya bu??”, hampir-hampir aku tak bisa melihat wajah sang ibu karena air mata memenuhi kedua kelopak mata ini. Aku pun kembali melanjutkan perjalanan, Allah cintailah ibu tadi..

Berjalan pulang dengan arah sekenanya (karena ingatan ruangku sangat tidak baik) dan berbekal pertanyaan menuju jalan raya terdekat, akupun melajutkan perjalanan untuk pulang. Kembali bertemu dengan seorang ibu, dan kembali, hanya dengan menyapa ibu ini sembari meminta izin untuk lewat, ibu kali ini menahanku karena mengatakan diriku sangat sopan, beliaupun menceritakan banyak hal tentang anak-anaknya (dan sesuatu seperti alangkah bahagianya jika dapat menantu sesopan aku, duh), aku bahkan dimintanya untuk mampir ke rumahnya dan turut makan malam di rumah beliau. Setelah diselamatkan dari motor yang hampir-hampir saja menabrak kami karena jalan yang ada hanyalah satu jalan kecil, akupun berhasil mengulangi pamitan kesekian kepada ibu kali ini, beliaupun membekali aku dengan do’a-do’a dengan bahasa sunda (setidaknya aku tau yang diucapkan ibu ini adalah do’a untuk kesuksesanku, amiin, semoga sukses akhirat ya bu^^?)

Akhirnya tiba di jalan raya, tak kusangka ternyata hanya sekitar 20 menit aku pun berhasil sampai kembali di RSHS, dan hanya sekitar beberapa menit kemudian akupun telah terbaring di tempat tidurku yang ramah menyapa. Perih kembali hadir di kedua mataku, tapi ia tak langsung membuatku terlelap dalam tidur. Sungguh luar biasa sore tadi. Betapa masih banyak orang-orang sederhana yang ikhlas memberikan do’anya kepada orang lain yang baru, benar-benar baru saja, dikenalnya. Masya Allah. Masya Allah.

Teringat dengan sebuah hadist, senyum mu kepada saudara mu adalah sedekah. Dulu aku sempat berpikir ketika ada beberapa teman yang memilah-milih untuk bersedekah, ”Jangan ke orang itu! Lihatlah badannya, lebih dari bugar untuk mampu mencari uang dengan cara bekerja, kalau mau ngasih...kasih ke pengemis yang benar-benar sudah tak mampu menghidupi dirinya”. Tapi hei! Memangnya ada aturan untuk bersedekah?

Ada sebuah cerita bijak ketika seseorang yang baru saja belajar mengenai keutamaan bersedekah segera menyedekahkan hartanya kepada orang yang ditemuinya. Segera, ia dikomentari dengan celaan, “Hei fulan! Untuk apa kamu sedekahkan hartamu kepada orang tadi? Tidak tahukah kamu bahwa wanita yang kamu berikan sedekah tadi adalah seorang pezina dan pendosa yang tidak layak mendapatkan belas kasih?”

Dengan tak mengerti, ia pun hanya bisa mendo’akan agar sedekah yang dikeluarkannya bermafaat dan mendapatkan Ridha Allah. Kembali, ia menyedekahkan hartanya pada orang lewat lain yang ditemuinya, dan kembali ia dikomentari oleh orang-orang di sekitarnya yang melihat apa yang dilakukannya, “Hei fulan! Tak habis pikirkah engkau? Orang yang baru saja kamu berikan sedekah adalah seorang pencuri yang tidak pernah makan makanan yang halal dan tidak pernah bekerja untuk mendapatkan uang yang halal, bagaimana mungkin engkau memberikannya uang sedekah kepadanya dan masih berharap untuk mendapatkan Ridha Allah?”

Sedih, ia pun hanya bisa mengulangi do’anya agar harta yang telah ia sedekahkan bermanfaat dan diterima di sisiNya. Untuk ketiga kalinya, ia pun ingin kembali mengamalkan ilmu sedekah yang baru saja dipelajarinya, kembali ia memberikan sedekah kepada orang yang baru saja ditemuinya, dan lagi-lagi, kembali, ia dikomentari dengan nada mencemooh oleh orang-orang yang memperhatikan apa yang dilakukannya, “Fulan, sungguh, belum pernah kami melihat orang sebodoh dirimu, menurutmu untuk apalah engkau memberikan sedekah kepada orang yang kau lewati tadi, beliau adalah saudagar terkaya di kota ini, untuk apa kau pikir guna dari sedekahmu yang tak seberapa dibandingkan harta kekayaannya yang berlimpah?”
Termangu, ia pun terpuruk dalam kesedihan, betapa bahkan untuk berbuat baik saja dirinya tak bisa. Namun ia pun kembali mengulangi do’anya, berharap Allah mengerti niat baiknya

Hari-hari berikutnya, ia disapa oleh seorang wanita yang ternyata adalah seorang wanita yang diberikan sedekah olehnya beberapa waktu lalu, wanita itu mengucapkan terimakasih padanya, wanita itu mengaku tergugah dengan kebaikan tulusnya yang tak melihat latar belakang seseorang untuk diperlakukan dengan baik, selama ini orang-orang menganggap wanita itu sebagai pezina yang tidak layak mendapatkan ampunan Allah dan tidak layak untuk menerima kebaikan oleh manusia manapun, makhuk rendah, yang memandangnya saja adalah sebuah kehinaan besar. Namun karena sedekah darinya, wanita tadi terenyuh dan mendapatkan hidayah Allah dengan seketika, bersyukur dengan masih adanya orang yang memperlakukannya dengan baik, wanita itu kemudian bertekad untuk bertaubat, seberat apapun jalan yang mungkin nanti akan ditemuinya dengan cemoohan orang lain dengan apa yang telah dilakukannya, ia yakin Allah masih menyayanginya, karena bahkan ternyata masih ada orang yang memperlakukan orang sehina dirinya dengan baik untuk meraih Ridha Allah, seperti apa yang telah dibulatkan dalam tekad wanita itu kini

Ketika masih dalam keadaan terpana dengan apa yang dikatakan oleh wanita tadi, ia kembali disapa oleh seseorang, yang ternyata adalah seorang pencuri yang juga diberikan sedekah olehnya beberapa waktu lalu, lelaki ini juga mengucapkan terimakasih atas sedekahnya dahulu, selama ini belum pernah ia mendapatkan uang halal yang diberikan untuknya dengan tulus bahkan oleh seseorang yang baru saja dikenalnya, selama ini ia hanya berbekal dari usahanya mencuri untuk bertahan hidup dengan uang tidak halal yang diperolehnya. Tidak pernah terpikir dalam benaknya bahwa diantara pikiran-pikiran buruk orang lain tentang dirinya yang tidak akan mungkin berubah, ternyata masih ada orang lain yang tulus memperlakukannya dengan baik dan bahkan memberikan sedekah kepadanya, yang kemudian berbekal dari uang sedekah yang diperolehnya, lelaki itu pun memutuskan untuk menghentikan hidupnya yang selama ini jauh dari baik dan berusaha untuk memulai hidupnya kembali dari awal, dengan cara yang halal

Tak lama sepeninggalnya lelaki tadi, ia kembali disapa oleh orang ketiga, yang juga diberikan sedekah olehnya, apa yang akan dikatakan oleh saudagar kaya yang mendapatkan sedekah tak seberapa darinya? Tersinggungkah saudagar ini? Ternyata kembali ucapan terimakasih yang diterimanya, saudagar ini merasa sangat tertampar ketika dirinya diberikan sedekah oleh orang yang tak dikenalnya, jumlah yang sangat tidak ada apa-apanya dengan harta yang dimiliki sang saudagar justru mampu menyadarkan dirinya mengenai betapa selama ini hanya dunialah yang dikejarnya, hingga hartanya yang menumpuk sama sekali tidak pernah ia sedekahkan kepada yang membutuhkan. Tapi lihatlah orang asing yang memberikan sedekah padanya, orang asing ini bahkan tak berusaha mengetahui siapa yang ia berikan sedekah, karena hanya keinginan untuk bersedekahlah yang memenuhi dirinya. Sang saudagarpun teringat dengan kewajibannya untuk menzakatkan sebagian hartanya dan menyedekahkan sisanya, ia sungguh berterimakasih karena sedekah yang diberikan kepadanya mampu mengembalikan sang saudagar dari posisi lupa diri dari banyaknya harta yang mengelilinginya, sehingga sang saudagar masih bisa melakukan sesuatu untuk kepentingan akhiratnya

Subhanallah, betapa indahnya berbuat baik, kepada siapapun, bukankah tak ada aturan untuk berbuat baik? Ketika bersedekah tidak diharuskan hanya kepada orang-orang tertentu, dan menyapa juga tak harus pada orang yang kita kenal, layaknya fulan yang berhasil memberikan hidayah kepada mereka yang diberikannya sedekah karena mengharap ridha Allah, atau upaya ringanku untu tersenyum dan menyapa mereka yang kutemui di jalan yang membalas sapaanku, yang mungkin bagi orang lain tak ada harganya, yang dibalas dengan sebuah do’a untuk kelanjutan perjalananku

Tidakkah ia indah? Ketika diri ini belum sanggup bertindak seperti fulan yang memberikan sedekah tanpa melihat siapa yang ia berikan sedekah dan juga dengan tanpa putus asa tetap bersedekah meski dicemooh orang lain, bukankah bibir kita masih dapat melakukan senyum simetris dan mendo’akan orang yang kita temui di jalan, siapapun itu, ‘Assalamu’alaykum Warahmatullah Wabarakatuh, salam dan selamat untukmu, semoga Allah merahmati dan memberkahimu. Tidakkah hal tersebut mudah untuk dilakukan dan bernilai sedekah di mata Allah?

Lantas apa lagi yang kita tunggu?

Sungguh, berbuat baik tidak mengenal orang, waktu, dan tempat! Dan sungguh, disapa dengan senyuman tulus oleh orang lain mampu menghadiahkan kebersihan hati dalam diri untuk melanjutkan senyuman tulus kepada orang yang lain lagi. Lantas apa lagi yang kita tunggu? Tidakkah ia adalah multi level pahala yang sangat menjanjikan?



“Apabila Allah memberi hidayah kepada seseorang melalui upayamu, itu lebih baik bagimu daripada apa yang dijangkau matahari yang terbit dan terbenam.”
(HR Bukhari)

[+/-] Selengkapnya...