Bedaaa sekali rasanya ketika kita membandingkan karakteristik
manusia di zaman Rasulullah dengan yang ada di zaman kini, ya kita-kita ini lah
contohnya. Ingatlah Umar ibn al-Khaththab, al-Faruq, yang ketika cahaya islam
telah menyinari qalbunya maka tak sedikitpun terbesit keinginan dirinya untuk
menyembunyikan kebenaran yang telah sampai padanya, diumumkannya lah keislaman
dirinya kepada seluruh kaum Quraisy, “Aku tidak akan menyembunyikan kebenaran
setelah mengetahuinya. Aku akan terus memisahkan kebenaran dan kebohongan, sama
seperti Tuhan memisahkan siang dan malam.”, maka bergetarlah seluruh Makkah. Masya Allah.
Sedangkan kita? Ringan sekali mengucapkan atau melakukan
kebohongan-kebohongan ataupun penipuan “kecil”. Terasa kecil, padahal dengannya
diri semakin lalai menggampangkannya, sehingga seandainya kita jeli, sudahlah
kebohongan itu menumpuk membentuk gunung ketidakjujuran. Naudzubillah.
Bagi yang kuliah, keterlambatan diri ketika menghadiri
kuliah biasa dijawab dengan “Maaf pak/bu, dari toilet” kalau ditanya dosen dengan
“Darimana? Kenapa baru datang?”. Atau, masih bagi yang kuliah, biasa sudah rasanya
perihal mengabseni atau diabseni, ada yang hanya karena terlambat datang, ada
juga yang memang tidak datang sama sekali.
Kembali kepada Umar radiallahu ‘anhu, ia pernah menasehati, “Berkata
jujurlah, walaupun ia akan membunuhmu.”, Itulah lah Umar, ia akan berkeras
dalam ketaatannya terhadap Allah dan RasulNya. Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa Salam pun menasehati kita untuk bertahan dalam kejujuran, “Jujurlah, karena
sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan
kepada syurga” (HR Bukhari).
Tapi, bagaimana dengan berbohong untuk kebaikan? Yakinlah,
tidak ada kebaikan yang bisa ditebus dengan keburukan, tidak ada. Yang ada, ketika kita berbohong apapun alasannya, katakanlah
misalnya untuk membela diri yang sedang dianiaya, dan seandainya kita tidak
berbohong maka penganiayaan akan kita akan terus dilakukan, maka segeralah
memohon ampunan Allah setelah kebohongan itu terucap, karena Allah Maha Pengampun
dan Maha Penerima Taubat.
Ingatkah dengan Amar ibn Yasir? Ibunya Sumayyah menjadi
hamba Allah pertama yang meninggal dalam keadaan syahid setelah dibunuh oleh Abu
Al Hakam karena tidak mau mengingkari keislamannya dan mengatakan bahwa
Muhammad, manusia terbaik sepanjang masa, adalah seorang pembohong. Ayahnya pun
tak lama meninggal karena penyiksaan yang dideranya, dan Amar? Ia tidak
meninggal, ia menyerah pada kebohongan saat siksaan demi siksaan ditujukan
padanya, ia berbohong dan menghinakan Rasulullah seperti yang dipinta kaum
kafir Quraisy. Segala puji bagi Allah, Amar masih dikaruniai usia untuk memohon
ampun atas kebohongannya, yang insya Allah kebohongan yang ia ucapkan tak
pernah sedikitpun ia benarkan dalam benaknya. Maka kemuliaan syurga pun dijanjikan
Allah bagi Amar sekeluarga.
Pernah seorang teman membela diri dengan mengatakan bahwa
tentu tidak akan pernah bisa disamakan antara para sahabat atau bahkan
Rasulullah sendiri dengan keadaan kita saat ini. Padahal kenapa tidak bisa?
Rasulullah sendiri yang mengatakan bahwa Umat terbaiknya adalah mereka yang
mencintai Allah dan RasulNya dengan sebenar-benarnya kecintaan padahal mereka tidak
pernah menyaksikan dengan mata-kepalanya sendiri wajah dan watak Rasulullah. Itulah
kita, insya Allah, seandainya kita mau.
Karena benar, beda sekali karakter kebanyakan dari kita
jikalau disandingkan dengan sahabat ataupun Rasul sendiri, padahal yang
membedakan hanyalah keimanan dan ketakwaan kita, sedangkan iman dan takwa
seseorang adalah buah dari kemauannya. Akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an,
sedangkan Al-Qur’an diturunkan untuk umat sepanjang masa, bukan hanya bagi umat
yang hidup di zaman Rasulullah! Jadi apa yang mustahil? Masalahnya, kita mau
atau tidak?
Meneladani seseorang dengan Al-Qur’an sebagai akhlaknya akan
menjadi mustahil ketika membuka Al-Qur’an saja kita malas. Meneladani seseorang
dengan Al-Qur’an sebagai akhlaknya akan menjadi mustahil ketika mempelajari
sejarah hidupnya saja kita enggan. Meneladani seseorang dengan Al-Qur’an
sebagai akhlaknya akan menjadi mustahil ketika “mustahil” itu sendiri adalah kalimat
favorit yang terucap bahkan sebelum kita melakukan apapun.
Jadi masalahnya, kita mau atau tidak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar