Add This...^^d!!

RSS

Minggu, Oktober 14, 2012

Jadi, masalahnya...

Bedaaa sekali rasanya ketika kita membandingkan karakteristik manusia di zaman Rasulullah dengan yang ada di zaman kini, ya kita-kita ini lah contohnya. Ingatlah Umar ibn al-Khaththab, al-Faruq, yang ketika cahaya islam telah menyinari qalbunya maka tak sedikitpun terbesit keinginan dirinya untuk menyembunyikan kebenaran yang telah sampai padanya, diumumkannya lah keislaman dirinya kepada seluruh kaum Quraisy, “Aku tidak akan menyembunyikan kebenaran setelah mengetahuinya. Aku akan terus memisahkan kebenaran dan kebohongan, sama seperti Tuhan memisahkan siang dan malam.”, maka bergetarlah seluruh Makkah. Masya Allah.

Sedangkan kita? Ringan sekali mengucapkan atau melakukan kebohongan-kebohongan ataupun penipuan “kecil”. Terasa kecil, padahal dengannya diri semakin lalai menggampangkannya, sehingga seandainya kita jeli, sudahlah kebohongan itu menumpuk membentuk gunung ketidakjujuran. Naudzubillah.

Bagi yang kuliah, keterlambatan diri ketika menghadiri kuliah biasa dijawab dengan “Maaf pak/bu, dari toilet” kalau ditanya dosen dengan “Darimana? Kenapa baru datang?”. Atau, masih bagi yang kuliah, biasa sudah rasanya perihal mengabseni atau diabseni, ada yang hanya karena terlambat datang, ada juga yang memang tidak datang sama sekali.

Kembali kepada Umar radiallahu ‘anhu, ia pernah menasehati, “Berkata jujurlah, walaupun ia akan membunuhmu.”, Itulah lah Umar, ia akan berkeras dalam ketaatannya terhadap Allah dan RasulNya. Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam pun menasehati kita untuk bertahan dalam kejujuran, “Jujurlah, karena sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan kepada syurga” (HR Bukhari).  

Tapi, bagaimana dengan berbohong untuk kebaikan? Yakinlah, tidak ada kebaikan yang bisa ditebus dengan keburukan, tidak ada. Yang ada, ketika kita berbohong apapun alasannya, katakanlah misalnya untuk membela diri yang sedang dianiaya, dan seandainya kita tidak berbohong maka penganiayaan akan kita akan terus dilakukan, maka segeralah memohon ampunan Allah setelah kebohongan itu terucap, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat.

Ingatkah dengan Amar ibn Yasir? Ibunya Sumayyah menjadi hamba Allah pertama yang meninggal dalam keadaan syahid setelah dibunuh oleh Abu Al Hakam karena tidak mau mengingkari keislamannya dan mengatakan bahwa Muhammad, manusia terbaik sepanjang masa, adalah seorang pembohong. Ayahnya pun tak lama meninggal karena penyiksaan yang dideranya, dan Amar? Ia tidak meninggal, ia menyerah pada kebohongan saat siksaan demi siksaan ditujukan padanya, ia berbohong dan menghinakan Rasulullah seperti yang dipinta kaum kafir Quraisy. Segala puji bagi Allah, Amar masih dikaruniai usia untuk memohon ampun atas kebohongannya, yang insya Allah kebohongan yang ia ucapkan tak pernah sedikitpun ia benarkan dalam benaknya. Maka kemuliaan syurga pun dijanjikan Allah bagi Amar sekeluarga.

Pernah seorang teman membela diri dengan mengatakan bahwa tentu tidak akan pernah bisa disamakan antara para sahabat atau bahkan Rasulullah sendiri dengan keadaan kita saat ini. Padahal kenapa tidak bisa? Rasulullah sendiri yang mengatakan bahwa Umat terbaiknya adalah mereka yang mencintai Allah dan RasulNya dengan sebenar-benarnya kecintaan padahal mereka tidak pernah menyaksikan dengan mata-kepalanya sendiri wajah dan watak Rasulullah. Itulah kita, insya Allah, seandainya kita mau.

Karena benar, beda sekali karakter kebanyakan dari kita jikalau disandingkan dengan sahabat ataupun Rasul sendiri, padahal yang membedakan hanyalah keimanan dan ketakwaan kita, sedangkan iman dan takwa seseorang adalah buah dari kemauannya. Akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an, sedangkan Al-Qur’an diturunkan untuk umat sepanjang masa, bukan hanya bagi umat yang hidup di zaman Rasulullah! Jadi apa yang mustahil? Masalahnya, kita mau atau tidak?

Meneladani seseorang dengan Al-Qur’an sebagai akhlaknya akan menjadi mustahil ketika membuka Al-Qur’an saja kita malas. Meneladani seseorang dengan Al-Qur’an sebagai akhlaknya akan menjadi mustahil ketika mempelajari sejarah hidupnya saja kita enggan. Meneladani seseorang dengan Al-Qur’an sebagai akhlaknya akan menjadi mustahil ketika “mustahil” itu sendiri adalah kalimat favorit yang terucap bahkan sebelum kita melakukan apapun.


Jadi masalahnya, kita mau atau tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar