Beberapa
bulan ke belakang saya mengalami hal-hal luar biasa. Sekumpulan masalah datang
silih berganti, menyapa diri yang seringkali terlalaikan, menegur hati yang
seringkali mengikrarkan kebaikan yang hampa.
Dan yang
paling berkesan adalah betapa masalah-masalah yang muncul datang seolah ingin
membuktikan teori-teori yang seringkali saya jelaskan pada orang lain, pada
tulisan, teman, ataupun adik-adik angkatan. Kakak saya pernah mengomentari, “Adek tuh udah tau teorinya kalau dicubit
itu sakit, nah sekarang adek lagi ngerasain sedihnya, lagi ngerasain sakitnya”.
Subhanallah, benar sekali.
Teorinya,
Allah tidak akan membebani seorang hamba di luar kesanggupannya, begitu firman
Allah dalam surat cintaNya, alQur’anul Kariim. Prakteknya, banyak orang
berguguran ketika berhadapan dengan cobaan, melarikan diri untuk melupakan.
Bukan karena tidak sanggup menghadapi ujian yang datang, tapi MERASA tidak
sanggup. Kita kah?
Teorinya, salah
satu alasan kedatangan musibah adalah karena dosa, dan tidaklah akan hilang
kesalahannya jikalau tak disertai dengan taubat, begitu ucap sayyidina Ali ibn
Abu Thalib. Prakteknya, seringkali kita menyalahkan orang lain atas kemalangan
yang menimpa diri: nilai jelek karena dosennya pelit dan banyak maunya, handphone
hilang karena pencuri menyebalkan yang mengintai diri, absen dicoret karena
dosen hadir terlampau pagi, tugas tertinggal karena ada jarkom kuliah mendadak
untuk datang lebih cepat, gagal ujian karena pertanyaan lontaran dosen
terlampau aneh dan detail, janji tak tertepati karena macet menghadang tanpa
ampun, materi tak bisa dimengerti karena penjelasan dosen berputar-putar tanpa
arti, kepribadian rapuh karena didikan lingkungan yang tak benar, dan lain
sebagainya.
Jarang, atau
mungkin tak pernah, memikirkan kalau sumber masalahnya adalah diri sendiri, tak
terlintas dalam benak bahwa kesalahan terbesar adalah khilaf diri terhadap
beberapa hal di masa lampau. Nampaknya diri terlalu asik menyalahkan orang lain
sehingga tanpa sadar merasa dirilah yang paling benar dan paling layak mendapat
segala jenis kebaikan. Sombong. Loh? Kenapa sombong? Bukankah akar kesombongan
ada dua? Pertama, ketika diri merasa lebih baik dari orang lain. Kedua, ketika diri
merendahkan orang lain, baik sadar maupun tidak. Padahal sesungguhnya, Allah
membenci orang-orang yang sombong dan membanggakan diri! Naudzubillah. Tsumma Naudzubillah.
Teorinya,
Apabila Allah menghendaki kebajikan pada seorang hamba, maka akan diperlihatkanNya
kekurangan hamba tersebut, begitu sabda Rasulullah Muhammad ibn Abdullah yang
diriwayatkan oleh Abu Manshur Ad-Dailami. Prakteknya, ketika diri merasa
kurang, akanlah kita membandingkan diri dengan mereka yang nampak “lebih”
segala-galanya, merasa diri tak berguna. Jauh dari syukur. Padahal bukankah seharusnya
tak ada rasa lain selain syukur yang menggema di hati? Bukankah ketika kita
mampu melihat kesalahan diri maka terdapat kehendak Allah akan kebaikan atas
diri kita? Subhanallah walhamdulillah!
Namun
mengapa dengan semua teori yang ada semua masih terasa berat? Yeee....syurga itu indahnya kebangetan guys!
Semena-mena banget mau masuk syurga tapi usaha melawan beratnya ujian aja gak
mau kan?
Di
kala seburuk-buruk ujian adalah bukti cintaNya, maka nikmat Tuhan yang mana
yang perlu kudustakan??
Sungguh
Allah, skenarioNya begitu indah, sentuhanNya untuk mengajarkan hambaNya begitu
dashyat. Masya Allah. Masya Allah.
Segala
puji bagi Allah, bahagia rasanya ditempa untuk menerapkan teori yang diucap
diri. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Semoga disayangNya.
Dan,
manisnya kebahagiaan pun akan terasa dalam seringnya helaan nafas karena
ujianNya. Berat. Tapi manis luar biasa (:!
super sekali..Setuju :D
BalasHapus