Add This...^^d!!

RSS

Minggu, Oktober 21, 2012

fight, flight, frozen

Ada tiga jenis kemungkinan seseorang ketika sedang berhadapan dengan masalah: fight, flight, frozen (hadapi, melarikan diri, terperangkap). Rata-rata dari kita pernah mengalami semuanya, mari kita bahas satu persatu.

Pertama, flight, atau melarikan diri. Salahkah? Bukankah tak semua orang kuat dan sanggup menghadapi masalah yang ada? Rasulullâh Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam pernah mengajarkan:
“Ada tiga perkara dimana tidak seorang pun yang dapat terlepas darinya, yaitu prasangka, rasa sial, dan dengki. Dan aku akan memberikan jalan keluar bagimu dari semua itu, yaitu apabila timbul pada dirimu prasangka, janganlah dinyatakan, dan bila timbul di hatimu rasa kecewa, jangan cepat dienyahkan, dan bila timbul di hatimu dengki, janganlah diperturutkan.”

Kecewa adalah emosi yang muncul ketika kita dihadapkan pada masalah yang tidak sesuai dengan bayangan dan harapan kita. Maka jangan cepat dienyahkan, jangan melarikan diri. Karena Allah menginginkan kita untuk mengikis rasa kecewa yang ada dengan perlahan, layaknya gunungan pasir yang terhembus oleh semilir angin. Dan juga karena dengannya kita akan semakin terkuatkan, semakin bersyukur atas skenario Allah yang ada.

Kedua, frozen atau terperangkap. Pernah mendengar kesurupan? Atau kepribadian ganda? Itu adalah contoh nyata dari beberapa kasus yang bisa terjadi ketika seseorang terperangkap dengan masalah-masalah dan ketakutan yang ada. Ia terdiam, dan melarikan diri (flight) ke dalam dirinya sendiri, bertukar tempat dengan sifat-sifat lain yang selama ini terpendam di pelosok ingatan.

Maka muncul lah kepribadian lain (yang sebenarnya dibentuk oleh ingatan dirinya sendiri), atau muncul dalam bentuk kejang seperti kesurupan (Karena reaksi seperti itulah yang diingatnya. Sehingga tak jarang terjadi kesurupan massal, karena ketika 1 orang kesurupan maka orang yang melihat akan merasakan ketakutan yang amat sangat sehingga ingatan akan reaksi kesurupan temannya itulah yang muncul ketika bertukar dengan kesadarannya).

Atau contoh tersering dari frozen adalah hendaya (henti daya), sering disebut juga dengan disabilitas, atau sederhananya, kehilangan minat. Hilang minatnya untuk bicara, hilang minatnya untuk berinteraksi, hilang minatnya untuk makan, hilang minatnya untuk beraktivitas. Sehingga tak jarang ia hanya berdiam diri di kamar, tak mau dan tak bisa melakukan apapun.

Pernah, di perjalanan kehidupan koas saya, saya membantu mengabsenkan teman yang terlambat hadir. Segala puji bagi Allah yang dengannya menegur saya ketika tindakan saya itu ketahuan sehingga saya dan teman saya itu pun dipanggil menghadap untuk mempertanggungjawabkan tindakan kami. Kemungkinan terburuk saat itu adalah tidak diluluskan dari bagian itu. Saya siap dengan sesiap-siapnya kesiapan, insya Allah, tapi ternyata alhamdulillah kami hanya dinasehati dan diberikan tugas sebagai gantinya. 

Beberapa waktu berselang, teman saya tadi mengajak berbincang tentang kejadian waktu itu selepas ada orang yang menegurnya karena mempersulit saya saat itu. "Aku kan udah minta maaf sama kamu, Nes. Dan kamu juga bilang kalau kamu gak papa, kamu malah bilang makasih sama aku. Aku mikirnya kalau kamu kan gak pernah bermasalah sama absen, kamu juga deket sama Allah, gak mungkin lah kamu kena masalah. Yaudah aku jadinya mikirin diri aku sendiri."

Saya memang berterimakasih sekali dengan adanya kasus itu, karena dengannya saya dapat kembali membenahi diri menjadi pribadi yang lebih baik, lillahi ta'ala, bertindak karena-dan hanya karena-Allah. Karena dengannya saya semakin dipekakan untuk tidak melulu memudahkan orang lain seandainya bukan dalam kebaikan, bukankah nasehat Rasulullah adalah agar kita saling tolong-menolong dalam kebaikan?

Kejadian itu sungguh menampar saya, saya malu. Malu pada diri sendiri, malu pada teman-teman yang sering saya nasehati, dan terlebih, malu pada Allah. Tapi saat itu saya fight, ketika di ruang kuliah yang dipenuhi oleh koas ditanyakan siapa yang berbuat curang dengan mengabseni yang tidak hadir, meski sempat terlintas untuk tidak mengaku, saya pun akhirnya maju dan mengatakan, "punten dok, saya dok."


Tapi bukan berarti saya tidak punya masalah, terkadang saya pun terperangkap dalam bentuk frozen dan menyiakan waktu yang ada. Perasaan gundah, hati tak tenang, semua nampak keruh, jalan keluar pun seolah tak ada dan takkan pernah ada. Maka saat itulah langkah pertama yang biasa saya lakukan adalah menyenandungkan asma Allah, karena sungguh, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenang. Dan setelah itu Allah dengan sifat Maha Kasihnya mengingatkan saya yang terlalaikan untuk kembali menggenggam manisnya iman dan menyerahkan sesuatu hanya pada Dia yang kuasaNya meliputi langit dan bumi. Maka pada saat itulah jawaban dari permasalahan yang ada akan muncul dari jalan yang tidak disangka-sangka. Maka pada saat itulah manisnya nikmat dari suatu masalah yang menghadang akan terasa.


Karena melarikan diri (flight) dari masalah ataupun terdiam tak berdaya (frozenketika berjumpa dengan masalah hanya akan mengulangi atau bahkan memperburuk kondisi jiwa ketika masalah yang serupa kembali berulang. Karena masalah yang datang hadir dengan menyembunyikan mutiara hikmah dibalik keruhnya problematika yang mendera, maka adalah cerdas kalau kita fight untuk menemukan mutiara yang tersembunyi itu. Let's fight!
















[+/-] Selengkapnya...

Minggu, Oktober 14, 2012

Jadi, masalahnya...

Bedaaa sekali rasanya ketika kita membandingkan karakteristik manusia di zaman Rasulullah dengan yang ada di zaman kini, ya kita-kita ini lah contohnya. Ingatlah Umar ibn al-Khaththab, al-Faruq, yang ketika cahaya islam telah menyinari qalbunya maka tak sedikitpun terbesit keinginan dirinya untuk menyembunyikan kebenaran yang telah sampai padanya, diumumkannya lah keislaman dirinya kepada seluruh kaum Quraisy, “Aku tidak akan menyembunyikan kebenaran setelah mengetahuinya. Aku akan terus memisahkan kebenaran dan kebohongan, sama seperti Tuhan memisahkan siang dan malam.”, maka bergetarlah seluruh Makkah. Masya Allah.

Sedangkan kita? Ringan sekali mengucapkan atau melakukan kebohongan-kebohongan ataupun penipuan “kecil”. Terasa kecil, padahal dengannya diri semakin lalai menggampangkannya, sehingga seandainya kita jeli, sudahlah kebohongan itu menumpuk membentuk gunung ketidakjujuran. Naudzubillah.

Bagi yang kuliah, keterlambatan diri ketika menghadiri kuliah biasa dijawab dengan “Maaf pak/bu, dari toilet” kalau ditanya dosen dengan “Darimana? Kenapa baru datang?”. Atau, masih bagi yang kuliah, biasa sudah rasanya perihal mengabseni atau diabseni, ada yang hanya karena terlambat datang, ada juga yang memang tidak datang sama sekali.

Kembali kepada Umar radiallahu ‘anhu, ia pernah menasehati, “Berkata jujurlah, walaupun ia akan membunuhmu.”, Itulah lah Umar, ia akan berkeras dalam ketaatannya terhadap Allah dan RasulNya. Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam pun menasehati kita untuk bertahan dalam kejujuran, “Jujurlah, karena sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan kepada syurga” (HR Bukhari).  

Tapi, bagaimana dengan berbohong untuk kebaikan? Yakinlah, tidak ada kebaikan yang bisa ditebus dengan keburukan, tidak ada. Yang ada, ketika kita berbohong apapun alasannya, katakanlah misalnya untuk membela diri yang sedang dianiaya, dan seandainya kita tidak berbohong maka penganiayaan akan kita akan terus dilakukan, maka segeralah memohon ampunan Allah setelah kebohongan itu terucap, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat.

Ingatkah dengan Amar ibn Yasir? Ibunya Sumayyah menjadi hamba Allah pertama yang meninggal dalam keadaan syahid setelah dibunuh oleh Abu Al Hakam karena tidak mau mengingkari keislamannya dan mengatakan bahwa Muhammad, manusia terbaik sepanjang masa, adalah seorang pembohong. Ayahnya pun tak lama meninggal karena penyiksaan yang dideranya, dan Amar? Ia tidak meninggal, ia menyerah pada kebohongan saat siksaan demi siksaan ditujukan padanya, ia berbohong dan menghinakan Rasulullah seperti yang dipinta kaum kafir Quraisy. Segala puji bagi Allah, Amar masih dikaruniai usia untuk memohon ampun atas kebohongannya, yang insya Allah kebohongan yang ia ucapkan tak pernah sedikitpun ia benarkan dalam benaknya. Maka kemuliaan syurga pun dijanjikan Allah bagi Amar sekeluarga.

Pernah seorang teman membela diri dengan mengatakan bahwa tentu tidak akan pernah bisa disamakan antara para sahabat atau bahkan Rasulullah sendiri dengan keadaan kita saat ini. Padahal kenapa tidak bisa? Rasulullah sendiri yang mengatakan bahwa Umat terbaiknya adalah mereka yang mencintai Allah dan RasulNya dengan sebenar-benarnya kecintaan padahal mereka tidak pernah menyaksikan dengan mata-kepalanya sendiri wajah dan watak Rasulullah. Itulah kita, insya Allah, seandainya kita mau.

Karena benar, beda sekali karakter kebanyakan dari kita jikalau disandingkan dengan sahabat ataupun Rasul sendiri, padahal yang membedakan hanyalah keimanan dan ketakwaan kita, sedangkan iman dan takwa seseorang adalah buah dari kemauannya. Akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an, sedangkan Al-Qur’an diturunkan untuk umat sepanjang masa, bukan hanya bagi umat yang hidup di zaman Rasulullah! Jadi apa yang mustahil? Masalahnya, kita mau atau tidak?

Meneladani seseorang dengan Al-Qur’an sebagai akhlaknya akan menjadi mustahil ketika membuka Al-Qur’an saja kita malas. Meneladani seseorang dengan Al-Qur’an sebagai akhlaknya akan menjadi mustahil ketika mempelajari sejarah hidupnya saja kita enggan. Meneladani seseorang dengan Al-Qur’an sebagai akhlaknya akan menjadi mustahil ketika “mustahil” itu sendiri adalah kalimat favorit yang terucap bahkan sebelum kita melakukan apapun.


Jadi masalahnya, kita mau atau tidak?

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, Oktober 12, 2012

Sehat jiwa tanpa gangguan

Apa kecemasan terbesar kita? Sampaikah ia mengganggu aktivitas atau mengganggu gerak yang ada? Kalau iya, hati-hati! Bisa jadi kita mengalami gangguan kejiwaan yang dikenal dengan ansietas atau gangguan kecemasan,  sebuah diagnosis bagi mereka yang memiliki anggapan terhadap suatu kondisi atau objek di luar dirinya yang dianggap sebagai sebuah ancaman sehingga muncul dalam bentuk ketakutan-ketakutan. Ketakutan-ketakutan inilah yang kelak akan menghalangi diri dalam mengambil langkah untuk move on.


Kenyataannya, cemas merupakan bagian dari emosi yang bisa terjadi pada orang tanpa gangguan kejiwaan, bedanya ia akan disebut sebagai "gangguan" ketika muncul dalam keadaan berlebih yang tidak dapat ditangani oleh dirinya. Sedangkan kesamaan diantara mereka dengan tingkat kecemasan normal dan mereka dengan gangguan kecemasan adalah memiliki masalah. Faktor apa yang menentukan sehingga masalah yang sama dapat dapat ditangani dengan baik olah seseorang sedangkan pada orang yang lain justru menimbulkan gangguan kecemasan? Keimanan? Jawabannya bisa iya, bisa tidak.

Secara keseluruhan, gangguan kejiwaan apapun itu bentuknya memiliki tiga besar pokok penyebab munculnya gangguan yaitu organobiologis, psikoedukatif, dan sosiokultural. Iman, menurut saya secara pribadi, berkaitan dengan poin kedua dan ketiga yaitu bagaimana lingkungan maupun kebudayaan di sekitar seseorang membekalinya dalam menanamkan paradigma berpikir seperti apa yang pada kemudian hari dapat menjadi dasar bagi dirinya dalam memecahkan masalah kehidupan yang menghadang, sehingga semakin lemah pembekalan keimanan seseorang, semakin rendah daya tahannya terhadap tekanan, hingga bahkan masalah yang sangat remeh sekalipun dapat membuat dirinya seolah sedang ditimpa oleh badai cobaan.

Sedangkan poin pertama (organobiologis) adalah suatu keadaan dimana gangguan kejiwaan muncul sebagai reaksi dari kerusakan pada organ tubuhnya yang disebabkan karena penyakit, misalnya pada beberapa pasien jenis epilepsi (kejang) tertentu yang dapat menimbulkan kerusakan pada beberapa lokasi otak. Kerusakan-kerusakan pada kasus seperti ini dapat menimbulkan halusinasi atau persepsi palsu terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Ketika kerusakan terjadi di pusat pendengaran, dapat saja muncul halusinasi dengar dimana seolah ia dapat mendengar suara-suara yang berbicara padanya, dapat berupa suara yang sedang memarahi atau mengejeknya, ataupun suara ramah yang sedang mengajaknya berbincang.  Kerusakan di pusat-pusat lain di otak juga dapat menimbulkan jenis halusinasi lain seperti halusinasi lihat, cium, bahkan raba.

Sejatinya akan mudah bagi kita mencegah munculnya gangguan kejiwaan yang disebabkan oleh poin kedua dan ketiga tadi, karena bahkan sekalipun gangguan kejiwaan sudah mulai muncul, keimanan yang kuat dan benar dapat membantu mengembalikan ke kondisi semula dan bebas dari ketergantungan terhadap obat-obatan psikiatri, insya Allah. Ya, keimanan yang kuat dan BENAR. Karena kuat saja tidak berarti seandainya ia meyakini sesuatu yang salah bukan? Justru keyakinannya yang salah itu lah yang dapat mencetuskan munculnya gangguan dalam dirinya.

Katakanlah pasien A, ia keluar dari tempatnya bekerja karena teman-teman kerjanya sering mengajaknya bermain kartu, ia yakin seyakin-yakinnya bahwa ajakkan temannya itu salah, buang-buang waktu katanya. Tapi seberhentinya ia dari pekerjaannya, ia justru hanya berdiam di kamar sepanjang hari, mendengarkan radio yang memperdengarkan ceramah-ceramah keagamaan dan mengajarkan berbagai hal yang dilarang, dan sejak saat itulah ia yang menelan bulat-bulat materi dari radio yang didengarnya membuatnya meyakini ajaran-ajaran agamanya dengan sangat keras hati. Semua anggota keluarganya dimarahinya karena menurutnya tidak becus dalam menerapkan ajaran agama. Ibunya ditendang karena menurutnya tidak berguna karena tidak bisa mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang sukses. Hingga sampai tahap kecurigaan bahwa semua orang berniat jahat padanya yang datang membawa kebaikan ajaran agama.

Bayangkan betapa bahayanya informasi yang hanya tersampaikan sepotong-sepotong! Apalagi informasi mengenai ajaran agama, karena sesungguhnya Islam adalah agama yang sempurna, berbeda dengan muslim (orang yang berislam), ia tidak akan mencapai kesempurnaan dan kemuliaan islam seandainya tidak menerapkan islam secara kaffah (menyeluruh). Kuncinya, teruslah belajar, belajar, dan belajar! Tapi jangan berkeras hati memegang suatu pendapat karena bisa jadi persepsi kita yang salah, bukankah islam mengajarkan kita untuk bermusyawarah dalam memecahkan suatu masalah? Pun pendapat kita yang benar, tidak lantas menjadikan diri kita lebih mulia dan menjadikan orang dengan pendapat berbeda menjadi terhinakan bukan?

Karenanya jangan pernah berhenti meminta pada Allah agar hati kita dibersihkan, sehingga dapat mempelajari ilmuNya dengan berpegangan pada ketentuan-ketentuan yang sudah tercantumkan dalam al-Qur'an dan As sunnah, bukan pada kesombongan diri yang merasa sebagai orang yang paling benar. 
Ada baiknya kita meniru do'a Rasulullah Salallahu 'alaihi wa salam, "Ya Allah bersihkanlah hatiku dan sucikanlah jiwaku, sesungguhnya Engkau yang Maha membersihkan hati". Ulangi terus dalam setiap sujud kita, insya Allah dengannya akan lebih mudah bagi kita menerima kebenaran yang datang dari Allah, bukankah akan lebih mudah menulis pada lembaran kertas yang bersih dari coretan?


Sertakan Allah dalam tiap hembusan nafas kita, bahkan dalam problematika teremeh sekalipun yang kita alami dalam hidup. Seperti ucapan Hasan Al-Bashari, "Allah merahmati hamba yang berhenti saat terlintas keinginannya. Jika dilakukan untuk Allah, ia lanjutkan. Jika tidak, ia tunda."


















[+/-] Selengkapnya...